Judul Asli: Di Mana Rasa Perikemanusiaan Kita?
Oleh: Tidak Diketahui
Maafkan saya kerana saya tidak bijak mengarang. Saya bukan penulis. Apa yang saya yang ingin diceritakan pun hanyalah tentang monyet, hewan yang sering jadi bahan tertawaan kita, bukannya tentang uang, saham, emas, atau kekasih yang cantik jelita. Saya tidak bijak bercerita tentang itu.
Baru-baru ini saya ke Negeri Sembilan untuk mengunjungi rumah seorang saudara. Sewaktu kereta melalui hutan rekreasi Hulu Bendul di Kuala Pilah, tampak di depan sana, saya lihat ada sekumpulan monyet mondar-mandir di sisi jalan yang sibuk. Ia seperti terburu-buru untuk melintas.
Saya terus mengamatinya dan sewaktu kereta semakin dekat, saya terkejut karena ada seekor monyet tergeletak di atas jalan. Ia baru dilindas oleh sebuah kereta di hadapan saya. Lantas saya menekan rem dan memperlambat jalannya kereta.
Kereta semakin dekat dan dada ini berdebar apabila melihat monyet itu terus menggelupur dan menghempas-hempas ke atas jalan. Kakinya terketar-ketar. Di sisinya ada darah dan cabikan daging.
Tapi yang paling menyentuh perasaan saya ialah saat melihat perutnya yang buncit itu terburai, dan dari celah luka besar itu tersembul sesuatu berwarna kelabu. Tahukah pembaca, benda apakah yang saya lihat itu?
Benda kelabu itu adalah anak yang masih dalam kandungannya! Pada ketika itu saya terasa tubuh ini menggeletar. Saya pastikan, si ibu monyet tadi akan mati sebentar lagi. Begitu juga dengan anaknya, nyawanya melayang sebelum sempat melihat wajah ibu.
Sebaik melintasinya, saya pandang cermin sisi dan belakang. Saya melihat kawanan monyet tadi bercempera. Ia berlari-lari mendapatkan si ibu tadi, tapi kemudian bertempiaran semula ke tepi jalan kerana hamper saja dilanggar kenderaan yang lalu-lalang.
Mungkin kepada pembaca sekalian, apalah ada pada nyawa seekor monyet. Ia hanya monyet. Hewan bodoh. Hidupnya di hutan, tidak setaraf dengan manusia.
Tapi tidak kepada saya. Pulang lerlibur, saya terus menuliskan surat ini, karena peristiwa yang saya sebutkan tadi sebenarnya telah mengingatkan saya kepada sebuah peristiwa yang berlaku pada awal 1990-an.
Ketika itu usia saya masih di awal 20-an. Hari itu, saya diajak oleh seorang paman saya untuk memburu di hutan berhampiran rumah. Saya bukanlah minat memburu, tapi daripada bosan terperap di rumah, saya terima ajakan paman saya tadi.
Masih saya ingat, beberapa jam berburu, matahari pun sudah meninggi, tapi tiada seekor hewan pun melintas di hadapan kami. Pelanduk , napuh, rusa, ayam hutan dan burung yang selalu berlegar di hutan itu, seolah-olah bersembunyai jauh dari kami. Hutan itu sepi.
Saya bertambah rimas, juga pakcik (paman) saya lihat mulai kecewa. Hari kian beranjak petang, pak cik menepuk-nepuk senapang Relanya. Kata pakcik,
" Kita balik ajalah, hari ni tak ada apa-apa. Mungkin esok ada habuan."
Kami berjalan pulang, tapi selang dua tiga puluh langkah, kami terdengar suara riuh-rendah di sebalik pokok-pokok besar di hadapan kami. Saya mengamati suara itu, ternyata suara itu datang dari sekawan monyet yang sedang memakan buah-buah hutan.
Saya perhatikan pakcik begitu berminat memperhatikan hewan itu. Di bibirnya ada sebaris senyuman. Senyuman yang saya faham benar maksudnya.
Adakah pakcik hendak menembak monyet-monyet itu?
"Haa. Pakcik hendak tembak ibunya, lepas tu pakcik nak ambil anaknya, nanti boleh bela," begitu jawaban pakcik.
Masih saya ingat juga, saya beberapa kali mendesak pakcik supaya membatalkan hasratnya itu, tapi gagal. Saya gagal mengendurkan niatnya.
Tidak akan saya lupa kata-kata pakcik petang itu, "daripada balik tangan kosong?" lalu dia mengacukan senapangnya ke arah kawasan monyet tadi, dan ?
DAMMM!!!
Demi berdentum saja senapang, bercempera dan lintang-pukang monyet-monyet tadi menyelamatkan diri. Hutan itu riuh dengan bunyi ranting patah serta jerit pekik hewan berkenaan.
BUUUPP!
Ada suatu benda yang jatuh ke tanah.
Saya terpandang seekor ibu monyet jatuh berdekatan kami. Saya dan pakcik terus mendapatkannya. Dari perutnya bercucuran darah pekat.
Anaknya yang tidak mengerti apa-apa terlepas dari pelukan, tercampak tidak jauh dari ibunya sambil menjerit-jerit.
Si ibu merengus-rengus memanggil anaknya dengan lemah. Ia coba bangun. Dengan bersusah payah sambil tangannya mencapai akar-akar pokok untuk mendekati anaknya. Sebelah tangan lagi menekap perut yang masih berdarah.
Ia berusaha melangkah tapi terjatuh semula. Digagahi lagi sambil berguling-guling ke arah anaknya. Si anak yang baru pandai berjalan jatuh, bangun mendapatkan ibunya.
Si anak itu terus saja memeluk ibunya yang kesakitan. Masih terbayang jelas di ingatan saya bagaimana si ibu monyet tadi memegang tubuh dan menatap wajah anaknya puas-puas, kemudian dicium berkali-kali. Setelah itu dibawa si anak ke dada lalu disuakan susunya.
Saya dan pak cik terdiam melihat si anak mengisap susu manakala ibunya mengerang-ngerang perlahan seakan memujuk sambil menahan sakit. Hati saya tersentuh. Betapa si anak yang baru melihat dunia tidak tahu bahwa ibu tempat dia bermanja akan pergi buat selama-lamanya. Saya tidak mampu menyelami fikiran ibu monyet tadi, tapi mungkin ia ingin memeluk anaknya buat kali terakhir, sepuas-puasnya, karena selepas ini ibu akan pergi.
Ibu tidak akan dapat memelukmu lagi apabila kau kesejukan, menyuap mulutmu bila kau merengek kelaparan, juga melindungimu bila kau kepanasan.
Mata si ibu monyet itu memandang ke arah kami. Tangannya memeluk erat si anak seolah-olah enggan melepaskannya, biarlah ia mati bersama anaknya. Matanya saya lihat digenangi air, masih tidak lepas memandang kami dengan pandangan sayu, mungkin ingin menyatakan betapa kejamnya manusia.
Dosa apakah yang aku lakukan hingga aku ditembak? Salahkah aku bebas ke sana ke mari di bumi indah ciptaan Allah ini? Tubuh ibu monyet itu berlumuran darah, begitu juga dengan si anak yang masih dipelukannya.
Beberapa detik kemudian, dengan tenaga yang masih tersisa, kami lihat si ibu mencium anaknya untuk ke sekian kalinya. Perlahan-lahan tubuhnya terkulai ditanah, bisa penabur dari moncong senapan pakcik tadi tidak dapat ditanggung lagi.
Si anak menjerit-jerit memanggil ibunya supaya bangun dan melarikan diri dari situ, tapi si ibu sudah tidak bernyawa lagi. Puas menjerit, si anak tadi menyusu semula.
Di saat itu perasaan saya terlalu sebak. Saya perhatikan pakcik, dia beberapa kali menggetap bibir cuba menahan air matanya daripada tumpah ke pipi.
Tapi bila melihat si anak monyet tadi menjerit dan menggoncang-goncang tubuh ibunya, akhirnya air mata kami tumpah juga. Saya betul-betul kesal dengan apa yang terjadi.
Susana sunyi kembali. Si anak monyet itu kami rangkul dan bawa pulang. Biarpun ia terus menjerit-jerit dan enggan berpisah dengan ibunya yang telah mati.
Di dalam kereta saya hanya mendiamkan diri. Begitu juga pakcik. Pada ketika itu saya dapat merasakan betapa kejamnya kami karena membunuh satu nyawa yang tidak berdosa. Biarpun monyet itu hanya hewan yang bodoh, tapi mereka juga ada perasaan, ada rasa kasih kepada anak, rasa sayang kepada ibu. Tapi kita manusia??
Kemana hilangnya akal waras kami?
Selang dua minggu kemudian, anak monyet tadi mengikut jejak ibunya. Pakcik memberitahu saya, anak monyet itu tidak mahu makan dan asyik menjerit-jerit sahaja. Mungkin ia rindukan ibunya. Apabila malam, keadaannya bertambah teruk, dan akhirnya mati.
Kini saya sudah bekerja dan berumah tangga. Peristiwa tadi sudah saya ceritakan kepada anak dan isteri saya agar mereka mengerti bahwa hewan juga punya perasaan. Yang kejam adalah manusia, walaupun kitalah satu-satunya makhluk yang Tuhan anugerahkan akal fikiran. Tidak lupa saya memberitahu mereka betapa agung dan sucinya kasih sayang ibu.
Original posting from "Dimana Rasa Perikemanusiaan Kita?" @ http://indonesia.heartnsouls.com/cerita/q/c1627.shtml
BalasHapusThanks.