Doa (Prayer for Every Day)


TUHAN, aku mohon anugerah-Mu
agar aku dapat memanfaatkan
hidupku sebaik mungkin,
bukan untuk kepentingan diriku sendiri, atau
melakukan kehendak pribadiku yang sering salah...

Ajar aku mengambil waktu
untuk berdoa dan mendengarkan suara-Mu,
agar setiap hari dapat kumanfaatkan untuk
melakukan kehendak-Mu.















Prayer for Every Day

Lord, in all I do today,
remind me that
these's just one way
to do the things
that I do best,
to put my mind and heart at rest -

And that's to put
Your great hands,
My life,
that You alone
have planned.

Dosen Cerdas

Ada 4 orang mahasiswa yang kebetulan telat ikut ujian semester karena bangun kesiangan. Mereka lantas menyusun strategi untuk kompak kasih alasan yang sama agar dosen mereka berbaik hati memberi ujian susulan.

Mahasiswa A: "Pak, maaf kami telat ikut ujian semester."

Mahasiswa B: "Iya Pak. Kami berempat naik angkot yg sama dan ban angkotnya meletus."

Mahasiswa C: "Iya! Kami kasihan sama supirnya.. Jadinya kami bantu dia pasang ban baru."

Mahasiswa D: "Oleh karena itu kami mohon kebaikan hati bapak untuk kami mengikuti ujian susulan."

Sang dosen berpikir sejenak dan akhirnya memperbolehkan mereka ikut ujian susulan. Keesokan hari ujian susulan dilaksanakan, tapi keempat mahasiswa diminta mengerjakan ujian di 4 ruangan yang berbeda.

"Ah, mungkin biar tidak menyontek," pikir para mahasiswa. Ternyata ujiannya cuma ada 2 soal. Dengan ketentuan mereka baru diperbolehkan melihat dan mengerjakan soal kedua setelah selesai mengerjakan soal pertama.

Soal pertama sangat mudah dengan bobot nilai 10. Keempat mahasiswa mengerjakan dengan senyum senyum.

Giliran membaca soal kedua dengan bobot nilai 90. Keringat dingin pun mulai bercucuran.

Di soal kedua tertulis:
"Kemarin, ban angkot sebelah mana yang meletus..?"

*Hikmah: Sekecil apapun kebohongan yg kita lakukan tetap akan terungkap. Dan sebuah kebohongan bukanlah solusi dalam menyelesaikan masalah namun akan menambah masalah. Dan kejujuran itu lebih indah,, Setidaknya akan membuat kita lega setelah jujur..

Children Learn What They Live

By Dorothy Law Nolte, Ph.D.


     If children live with criticism,
               They learn to condemn.
          If children live with hostility,
               They learn to fight.
          If children live with ridicule,
               They learn to be shy.
          If children live with shame,
               They learn to feel guilty.
          If children live with encouragement,
               They learn confidence.
          If children live with tolerance,
               They learn to be patient.
          If children live with praise,
               They learn to appreciate.
          If children live with acceptance,
               They learn to love.
          If children live with approval,
               They learn to like themselves.
          If children live with honesty,
               They learn truthfulness.
          If children live with security,
               They learn to have faith in themselves and others.
          If children live with friendliness,
               They learn the world is a nice place in which to live.



Excerpted from the book CHILDREN LEARN WHAT THEY LIVE
©1998 by Dorothy Law Nolte and Rachel Harris
The poem "Children Learn What They Live"
©Dorothy Law Nolte
Used by permission of Workman Publishing Co., New York
All Rights Reserved.

Alasan Terbesar untuk Mengatakan "AKU CINTA KAMU"

Alasan Terbesar untuk Mengatakan "AKU CINTA KAMU" (This Is The Reason Why We Must Brave to Say "I Love You")

(1 SMA)
Saat aku duduk di kelas bahasa inggris, kutatap gadis disampingku. Dia adalah sahabatku. Kutatap rambut panjang sehalus sutra-nya, dan berharap dia adalah milikku. Tapi dia tidak menyadarinya, itu yg aku tahu.
Setelah kelas selesai, dia berjalan ke arahku dan meminta catatan yang ketinggalan kemarin, dan kuberikan padanya. Dia berkata “terima kasih” dan memberi ciuman di pipiku.
Aku ingin memberitahunya, aku ingin dia tahu kalau aku tak ingin hanya sekedar teman,aku mencintainya … tapi aku terlalu malu, dan aku tak tahu kenapa.

(2 SMA)
Telepon berdering. Di ujung sana, ada dia. Dia menangis, dan berkata terus-terusan betapa kekasihnya telah menghancurkan hatinya. Dia memintaku untuk datang karena dia tak ingin sendirian, dan aku pun datang. Aku duduk di sofa di sebelahnya, menatap matanya yang lembut, berharap dia adalah milikku.
Setelah 2 jam berlalu dengan sebuah film Drew Barrymore dan tiga kantong kripik akhirnya dia memutuskan untuk tidur.
Dia melihatku, berkata “terima kasih” dan mencium pipiku.
Aku ingin memberitahunya, aku ingin dia tahu kalau aku tak ingin hanya sekedar teman,aku mencintainya … tapi aku terlalu malu, & aku tak tahu kenapa.

(3 SMA)
Sehari sebelum pesta kelulusan dia berjalan ke lokerku.
“Pasanganku sakit” katanya. Dia tidak mungkin bisa cepat sembuh & aku tak punya pasangan.
Sewaktu SMP, kami pernah membuat janji jika ada diantara kita yang tak punya pasangan maka kita akan datang berdua, sebagai teman baik. Dan itu yang kami lakukan.
Malam kelulusan, setelah semuanya selesai, aku berdiri di depan tangga rumahnya. Dia tersenyum padaku, dan memandangku dengan matanya yang sebening kristal.
Aku ingin dia menjadi milikku, tapi sepertinya dia tdk punya perasaan yg sama & aku tahu itu.
Lalu dia berkata “Ini salah satu momen terindah buatku, terima kasih” dan menciumku di pipi.
Aku ingin memberitahunya, aku ingin dia tahu kalau aku tak ingin hanya sekedar teman,aku mencintainya … tapi aku terlalu malu, & aku tak tahu kenapa.

(Hari Wisuda)
Sehari berlalu, lalu seminggu, lalu sebulan. Sebelum aku sempat berkedip, ini sudah hari kami wisuda. Kulihat tubuhnya yang sempurna melayang seperti malaikat di panggung untuk menerima diploma.
Aku ingin dia menjadi milikku, tapi sepertinya dia tidak menyadarinya & aku tahu itu.
Sebelum semua orang pulang, dia mendatangiku dengan pakaian & topinya, dia menangis ketika aku memeluknya. Lalu dia mengangkat kepalanya dari pundakku, dan berkata “kau sahabat terbaikku, terima kasih” dan mencium pipiku.
Aku ingin memberitahunya, aku ingin dia tahu kalau aku tak ingin hanya sekedar teman,aku mencintainya … tapi aku terlalu malu, & aku tak tahu kenapa.

(Beberapa tahun kemudian)
Sekarang aku duduk di bangku gereja, ini hari pernikahannya. Aku melihatnya mengatakan “ya, saya bersedia” dan memasuki kehidupan barunya, menikahi seorang pria.
Aku ingin dia menjadi milikku, namun sptnya dia tdk mengetahuinya dan aku tahu itu.
Sebelum pergi, dia mendatangiku dan berkata “kau datang!”.
Dia berkata “terima kasih” dan mencium pipiku…
Aku ingin memberitahunya, aku ingin dia tahu kalau aku tak ingin hanya sekedar teman,aku mencintainya … tapi aku terlalu malu, & aku tak tahu kenapa.

(Pemakaman)
Bertahun-tahun berlalu, aku menatap peti mati berisi wanita yang menjadi “sahabat terbaikku”. Dalam acara itu, mereka membacakan buku harian yang ditulisnya ketika dia masih SMA. Tubuhku terkulai lemas ketika kudengar:
“Aku memandangnya & berharap dia adalah milikku tapi sptnya dia tidak mengetahui perasaanku dan aku tahu itu. Aku ingin memberitahunya, aku ingin dia tahu jika aku tak ingin menjadi sekedar teman, aku mencintainya tapi aku terlalu malu & aku tak tahu kenapa. Kuharap suatu hari dia akan berkata jika dia mencintaiku…”
“Kuharap juga begitu” aku berkata pada diriku sendiri & airmatakupun jatuh membasahi wajahku…

[English version]
When I was in 10th Grade
As I sat there in English class, I stared at the girl next to me. She was my so called “best friend”. I stared at her long, silky hair, and wished she was mine. But she didn’t notice me like that, and I knew it. After class, she walked up to me and asked me for the notes she had missed the day before and handed them to her. She said “thanks” and gave me a kiss on the cheek. I wanted to tell her, I want her to know that I don’t want to be just friends, I love her but I’m just too shy, and I don’t know why.

11th Grade
The phone rang. On the other end, it was her. She was in tears, mumbling on and on about how her love had broke her heart. She asked me to come over because she didn’t want to be alone, so I did. As I sat next to her on the sofa, I stared at her soft eyes, wishing she was mine. After 2 hours, one Drew Barrymore movie, and three bags of chips, she decided to go to sleep. She looked at me, said “thanks” and gave me a kiss on the cheek. I want to tell her, I want her to know that I don’t want to be just friends, I love her but I’m just too shy, and I don’t know why.

Senior Year
The day before prom she walked to my locker. My date is sick” she said; he’s not going to go well, I didn’t have a date, and in 7th grade, we made a promise that if neither of us had dates, we would go together just as “best friends”. So we did. Prom night, after everything was over, I was standing at her front door step. I stared at her as she smiled at me and stared at me with her crystal eyes. I want her to be mine, but she isn’t think of me like that, and I know it. Then she said “I had the best time, thanks!” and gave me a kiss on the cheek. I want to tell her, I want her to know that I don’t want to be just friends, I love her but I’m just too shy, and I don’t know why.

Graduation Day
A day passed, then a week, then a month. Before I could blink, it was graduation day. I watched as her perfect body floated like an angel up on stage to get her diploma. I wanted her to be mine, but she didn’t notice me like that, and I knew it. Before everyone went home, she came to me in her smock and hat, and cried as I hugged her. Then she lifted her head from my shoulder and said, “you’re my best friend, thanks” and gave me a kiss on the cheek. I want to tell her, I want her to know that I don’t want to be just friends, I love her but I’m just too shy, and I don’t know why.

A Few Years Later
Now I sit in the pews of the church. That girl is getting married now. I watched her say “I do” and drive off to her new life, married to another man. I wanted her to be mine, but she didn’t see me like that, and I knew it. But before she drove away, she came to me and said “you came!”. She said “thanks” and kissed me on the cheek. I want to tell her, I want her to know that I don’t want to be just friends, I love her but I’m just too shy, and I don’t know why.

Funeral
Years passed, I looked down at the coffin of a girl who used to be my “best friend”. At the service, they read a diary entry she had wrote in her high school years. This is what it read: I stare at him wishing he was mine, but he doesn’t notice me like that, and I know it. I want to tell him, I want him to know that I don’t want to be just friends, I love him but I’m just too shy, and I don’t know why. I wish he would tell me he loved me! `I wish I did too…` I thought to my self, and I cried.

-Sad Ending-

"Jangan biarkan rasa cinta itu membeku di hati. Biarkan dia keluar, merasakan hangatnya matahari, menikmati semilir angin dan sejuknya embun. Biarkan cinta itu mekar dan menebarkan keharuman bagi dunia. DECLARE YOUR LOVE BEFORE IT’S TOO LATE!"

Andakah Pria Seberuntung Dia? - Renungan bagi Pria

Kita sering mendengar, pria lebih memilih untuk melajang lebih lama dengan alasan-alasan ekonomi. Lebih spesifiknya mungkin ingin punya rumah pribadi dulu, punya mobil dulu, punya gaji sekian juta dulu / beberapa ratus juta utk sebuah pesta pernikahan. Karenanya, sebelum mencapai pernikahan, para pria bekerja ekstra keras mengumpulkan uang demi kemapanan. Ini tidak salah. Sudah selayaknya untuk punya kehidupan yang aman secara finansial saat berumah tangga memberikan kenyamanan bagi istri.

Tapi, pada saat kemapanan itu sudah dimiliki, ada situasi yang bisa menjebak para pria. Saat seseorang pria sudah begitu kaya, maka semua jenis wanita akan datang kepada dia menawarkan cinta. Tapi akhirnya semua menjadi suram, apakah mereka datang karena cinta ataukan mencintai uang kita.

Sampai akhirnya sesuatu yang buruk terjadi, hingga kita menyesal kenapa kita bisa menjadi begitu kaya. Wanita mana yang tidak akan datang bila kamu begitu tampan, cerdas, kaya dan muda? Semua ingin merasakan mobil Jaguarmu, tidur di atas Tempur Pedicmu, tinggal di penthousemu erdampingan dg pria berjas Kiton. Itu semua gambaran bahwa uang bisa memanipulasi perasaan dan parahnya itu adalah uangmu!

Bila saat ini kamu memiliki mobil dan seorang pacar, kamu tidak akan pernah tau, apakah wanita ini masih mencintaimu kalau suatu saat kamu hanya naik sepeda motor. Bagaimana kalau kamu tak lagi punya rumah pribadi plus hanya ada tempe di atas meja makan. Taukah kamu?

Tidak.
Karena dia datang pada saat kamu bisa memberikannya kenyamanan finansial yang dia idamkan. Cintakah yang kamu punya? Bukan! Kamu hanya memiliki wanita yang mencintai kenyamanan yang bisa kamu sediakan.

Beruntunglah bagi pasangan yang telah menikah dan mereka berdua memulainya dari bawah. Mensyukuri mobil mereka, karena mereka berdua pernah merasakan panas-hujan dengan sepeda motor. Menyenangi spring bed baru mereka, karena mereka berdua pernah tidur bersama di atas sebuah kasur busa kecil. Terharu dengan rumah pribadi mereka, karena dulu mereka pernah tinggal hanya di sebuah kost. Beruntunglah para pria yang memiliki wanita yang begitu mencintai mereka dan mendampingi di saat-saat berjuang menuju kehidupan yang lebih baik.

Sahabat Sejati

Cerita ini berawal saat seorang anak SMU yang bernama Rafi sedang duduk-duduk di teras rumahnya.

Tiba-tiba ia melihat remaja sebayanya sedang naik sepeda lalu jatuh tersungkur tepat di depan rumahnya. Isi tas plastik pemuda itu tumpah dan berhamburan ke luar. Tanpa pikir panjang, Rafi segera menolongnya. Rafi membantunya berdiri dan mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan di jalan. Semprotan serangga, tali dan beberapa barang lain yang dibawa remaja itu akhirnya sudah masuk ke dalam tas plastiknya lagi. Rafi juga melihat kaki remaja itu terluka, maka Rafi memintanya mampir sebentar agar lukanya bisa diobati. anak ABG itu menyetujuinya dan mereka berdua masuk rumah.

Di dalam rumah, Rafi ngobrol dengan anak SMU itu yang akhirnya diketahui bernama Ridwan. Lama sekali Rafi ngobrol dengan Ridwan, akhirnya mereka menjadi akrab dalam sekejab, mungkin karena umur mereka yang hampir sama. Mereka berbicara tentang sekolah, hobi, guru, dan hal-hal lain yang biasa diceritakan remaja SMU. Semenjak peristiwa itu, mereka berdua menjadi akrab dan bersahabat.

Saat lulus SMU, persahabatan mereka tetap berlanjut. Kedua pemuda itu diterima di universitas yang sama. Persahabatan mereka pun makin dekat. Hingga tak terasa, waktu kelulusan pun tiba. Beberapa hari sebelum wisuda, Ridwan menemui Rafi, seperti biasa mereka lalu saling mengobrol.

"Hei, Rafi" kata Ridwan, "Tahukan kamu bahwa jika kamu tidak menolongku dulu, mungkin selamanya aku tidak akan kenal denganmu. Kamu memang sahabat terbaikku."

"Hahaha.. biasa ajalah. Lha emangnya kenapa, toh?" Rafi balas tanya.

"Maaf, jika aku tidak pernah bercerita tentang ini. Masa-masa pertemuan awal kita dulu adalah masa-masa kritis dalam hidupku." Ridwan mulau bercerita, "Waktu itu, usaha bapakku bangkrut, dia terlilit banyak hutang. Sedangkan ibuku malah lari dengan lelaki lain. Aku selalu menjadi korban emosi bapak. Waktu itu aku kecewa sekali dengan mereka dan berencana ingin bunuh diri."

Ridwan melanjutkan ceritanya, "Tetapi, waktu sehabis membeli racun serangga dan juga tali untuk bunuh diri, sepedaku malah terpeleset di depan rumahmu dan kamu menolongku. Keakraban dan
ketulusanmu waktu itu seolah-oleh bercerita bahwa masih banyak orang baik di sekitarku. aku merasa tidak sendiri lagi waktu itu. Aku melihat ada haraban. Canda dan sikapmu membuatku membatalkan niat bunuh diriku. Thanks, bro! Entah sadar atau tidak, engkau sudah menyelamatkan nyawaku."

* Luangkan waktumu untuk tersenyum pada siapa saja... mungkin inilah satu-satunya senyum yang dapat menyinari hatinya yang serasa gelap
(diterjemahkan dan ditulis ulang dari The Gesture, Unknown Author)

Hidup untuk Mati

Walter Breuning meninggal dunia di sebuah panti jompo di Great Falls, Montana, AS, pada 14 April 2010. Ia bukanlah orang penting, bukan orang kaya, bukan artis, bukan pula tokoh supertenar. Nama Walter Breuning tercatat di Guinness Book of World Record edisi 2010 sebagai pria tertua di dunia. Ia meninggal pada usia 114 tahun. Istrinya, Agnes, telah meninggal pada tahun 1957 setelah pernikahan mereka berjalan 35 tahun tanpa dikarunia anak. Sejak itu Walter tidak pernah menikah lagi. Usia bisa demikian panjang, tentu berkaitan dengan pola hidup, pola makan, di samping kondisi fisiknya.

"Saya tidak pernah punya pantangan makan, tetapi selalu membatasi hanya makan dua kali sehari, dan itu cukup bagi tubuh kita," katanya dalam wawancara 6 Oktober 2010. "Dalam hidup, pikiran lebih penting daripada makanan. Gunakan pikiran untuk mengendalikan tubuh Anda. Mind and body adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan; gunakan secara seimbang. Gunakanlah terus keduanya sepanjang hidup. Buatlah mereka terus sibuk selama mungkin.

Adakah ajaran lain yang bisa dibagikan kepada kita-kita yang lebih muda?
"Terimalah perubahan meski itu menampar muka Anda. Yakinlah bahwa setiap perubahan itu baik."
"Bekerjalah selama mungkin. Dengan begitu Anda akan terus mendapatkan hasilnya."
"Bantulah orang lain. Semakin banyak Anda mengulurkan bantuan, jiwa Anda semakin sehat."

Lalu, setelah semua saran itu diikuti, kiat apakah yang akan menjadi kunci panjang umur?
"Jangan takut mati. Banyak orang takut akan kematian, tapi saya menerimanya. Saya belajar dari kakek saya. Dia bilang, 'Semua orang akan mati, dan saya juga akan mati. Setiap saat.' Ya, kita memang hidup untuk mati.

Tentu bukan kematian sia-sia yang kita sambut dengan senang, tapi kematian yang datang setelah kita mengisi hidup dengan kebaikan.
Walter Breuning mengalaminya, setelah menjalani hidup selama 114 tahun. Hidup kita mungkin
tidak sama dengan dia, tapi kita bisa memiliki kesiapan yang sama.

Dari: Intisari Edisi Mei 2011

“Bagaimana Cara Mendapatkan Pria Kaya?” - Renungan untuk Para Wanita

Bagaimana Saya mendapatkan Pria Kaya dengan penghasilan lebih dari US$ 500.000,- per tahun?

Seorang gadis mengirim surat ke sebuah majalah terkenal. Gadis tersebut sangat cantik dan sangat populer di lingkungan sekitarnya. Karena dianggap unik, majalah terkenal tersebut lalu memuat tulisan itu dengan judul "Apa Yang Harus Saya Lakukan untuk Mendapatkan Pria Kaya?".

Demikian isi surat gadis cantik tersebut:
Maaf jika sedikit menyindir, tetapi saya hanya mencoba jujur dengan apa yang saya pikirkan selama ini. Saya berumur 25 tahun, sangat cantik, dan punya selera fashion yang sangat bagus.
Saya ingin menikah dengan seorang pria yang berpenghasilan minimal 500 ribu dollar per tahun. Anda mungkin berpikir saya matre, tetapi persyaratan yang saya ajukan tersebut sebenarnya sangat wajar. Tahukah Anda jika penghasilan 1 juta dollar per tahun hanya dianggap sebagai kelas menengah di New York? Saya hanya mengajukan syarat separuhnya sehingga saya kira cukup masuk akal.

Adakah diantara pembaca majalah ini yang punya penghasilan minimum 500 ribu dollar per tahun? Apa kalian mau menikah denganku? Yang ingin saya tanyakan ialah apa yang harus saya lakukan untuk menikahi orang kaya seperti Anda? Pria terkaya yang pernah kencan dengan saya hanya berpenghasilan 250 ribu dollar per tahun. Saya yakin Anda tahu, penghasilan segitu tidaklah cukup untuk hidup di pemukiman elit City Garden, NewYork.
Dengan kerendahan hati, saya ingin menanyakan di mana saya bisa bertemu pria lajang kaya? Pria umur berapa yang harus saya cari? Kenapa kebanyakan istri orang-orang kaya hanya berpenampilan 'standar'?

Saya pernah bertemu dengan beberapa wanita yang memiliki penampilan 'tidak menarik', tetapi mereka justru mendapatkan pria kaya. Bagaimana cara Anda, para pria kaya, mengambil keputusan siapa yang kelak menjadi istri dan siapa yang hanya pantas menjadi pacar?
(Si Cantik)

Tidak disangka, tulisan yang berisi banyak tantangan tersebut ditanggapi oleh banyak pria kaya dengan serius. Di bawah ini adalah balasan dari seorang pria kaya yang bekerja di Finansial Wall Street:

Saya sangat bersemangat saat membaca surat Anda. Saya rasa banyak gadis di luar sana yang punya pertanyaan sama dengan Anda. Ijinkan saya untuk menganalisa situasi yang Anda alami, tentunya dari sudut pandang seorang profesional. Penghasilan saya per tahun lebih dari 500 ribu dollar, sesuai dengan syaratmu, jadi saya tidak main-main dengan balasan saya ini.

Menurut saya, jika dipandang dari sisi bisnis, menikahi Anda adalah sebuah keputusan yang salah. Jawabannya mudah, Saya akan coba menjelaskannya. Saya menarik kesimpulan bahwa Anda telah menempatkan "kecantikan" dan "uang" adalah dua hal yang sederajat, di mana Anda mencoba menukar kecantikan dengan uang. Pihak A menyediakan kecantikan dan Pihak B membayar untuk itu, hal yang masuk akal. Tetapi, ada masalah besar di sini, yaitu kelak kecantikan Anda akan hilang. Faktanya, penghasilan saya mungkin akan meningkat dari tahun ke tahun, tetapi Anda tidak akan bertambah cantik tahun demi tahun. Dan sebagai seorang pebisnis saya tidak akan merelakan uang saya hilang tanpa alasan yang jelas.

Jika dipandang dari sudut ekonomi, saya adalah aset positif yang selalu meningkat dan Anda adalah aset negatif yang selalu menyusut atau liabilitas. Bahkan, saya bisa berkata bahwa penyusutan aset yang Anda miliki bukan hanya penyusutan normal, tetapi penyusutan eksponensial. Jika Anda menganggap kecantikan sebagai aset, tentunya nilai Anda akan sangat mengkhawatirkan 10 tahun mendatang.
Setiap aset selalu memiliki nilai tukar. Kecantikan Anda juga memiliki nilai tukar. Berdasarkan aturan yang kita gunakan di Wall Street, jika nilai tukar sebuah aset selalu turun maka aset tersebut harus segera dilepaskan. Menyimpan aset menurun dalam jangka waktu lama adalah ide yang sangat buruk.

Maaf jika terdengar kasar, tetapi semua pria kaya tahu bahwa setiap asset dengan nilai depresiasi besar harus segera dijual atau setidaknya "disewakan". Anda seharusnya tahu bahwa pria dengan penghasilan lebih dari 500 ribu dollar per tahun pasti bukanlah pria bodoh. Kami mungkin mau berkencan dengan Anda, tetapi tidak untuk menikahi Anda. Saya menyarankan agar Anda melupakan saja ide untuk mencari cara menikahi pria kaya. Lebih baik Anda menjadikan diri Anda orang kaya dengan pendapatan lebih dari 500 ribu dollar per tahun. Hal ini lebih bagus daripada mencari pria kaya bodoh yang mau menikahi Anda.

Mudah2an balasan ini dapat membantu. Jika Anda tertarik dengan servis "sewa pinjam", silahkan hubungi saya.
(J.P. Morgan)**

Pengorbanan Seorang Ibu

Ayu Gadis Remaja yang cantik. Dia termenung. Kemudian dengan ragu-ragu Ayu bertanya pada Ibunya. Bu, Minggu depan teman Ayu mau kesini, Tapi Ayu takut nanti teman Ayu kalau lihat Ibu jadi takut dan mengejek Ayu. Memang Ibunya Ayu punya wajah yang seram karena kecelakaan. Ibu Ayu stress mendengar kata-kata Ayu dan Kepalanya jadi pusing dan hampir jatuh. Ayu memapah ibu ke tempat tidur. Lalu ibunya meminta Ayu mengambilkan sapu tangan di almari. Ketika Ayu membuka almari Ayu tertarik pada kotak kayu dan dengan cepat Ayu membuka kotak tersebut. Didalamnya berisi foto wanita cantik dan potongan koran yang sudah usang. Ayu baca sebentar dan isinya tentang kepahlawanan seorang Ibu yang berani menyelamatkan anaknya. Karena ibunya sudah panggil-panggil maka Ayu cepat-cepat mengembalikan kotak tersebut. Tapi pikiran Ayu terus pada berita koran tersebut. Mau bertanya kepada ibunya takut, maka Ayu tanya sama tantenya. Betul Ayu , ibumu dulu cantik tapi menjadi menakutkan seperti sekarang ini karena menolong Ayu waktu ada kebakaran. Ketika ada kebakaran tante ada didekatmu tapi karena repot menyelamatkan barang-barang maka tante lupa membawa Ayu.Lalu Ibumu masuk lagi meski semua orang telah menahan ibumu, tetapi demi Ayu ibu masuk lagi dan ketika akan keluar ibumu kejatuhan kayu dikepala dan punggungnya. Ayu selamat dalam dekapan ibu Ayu. Setelah menyerahkan Ayu pada tante ibumu pingsan karena luka bakar yang hebat. Semua orang menyebut ibumu pahlawan. Sampai beberapa bulan ibumu dirumah sakit.Mendengar itu semua Ayu menangis dan terus berlari pulang dan langsung memeluk ibunya dan berkata, “Ibu, Ayu sangat berterima kasih karena ibu sangat mengasihi Ayu dan rela berkorban untuk menyelamatkan Ayu. Sekarang Ayu tidak takut lagi kalau teman Ayu datang kesini dan Ayu akan menyaksikan pada teman-teman akan pengorbanan ibu yang begitu besar buat Ayu.

Kalau Ayu bisa menyaksikan Kasih dan pengorbanan Ibunya – Apakah kita sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus selalu bersyukur dan menyaksikan atas pengorbanan Tuhan Yesus. Dalam Yoh 10 : 11 – 18. Tuhan Yesus digambarkan sebagai gembala yang baik yang rela berkorban dan rela menyerahkan nyawaNya bagi domba-dombaNya. Gembala yang baik tidak memikirkan dirinya sendiri.
Di zaman Krisis Perekonomian Global ini apakah kita bisa mengikuti jejak gembala kita yang baik. Apakah ada kepedulian diantara kita ? Apakah ada rasa belas kasih terhadap jeritan dan tangisan orang lain ? Maukah kita memperhatikan teman-teman dan saudara-saudara kita yang menderita kekurangan atau kesakitan. Ingatlah bahwa hidup mengikut Kristus berarti bersedia mengikuti teladanNya dan Ajaran-ajaranNya. Bersediakan kita mengikutiNya. Amin

Pengorbanan Seorang Ibu

Cerita ini dimulai di sebuah desa yang amat terpencil dan miskin…dan terdapat kisah yang sangat mengharukan antara seorang ibu (bernama Imah) dan anaknya (bernama Indah)…

"Ibu... belikan aku mainan baru, ya?" Pinta seorang anak kecil dengan menarik baju ibunya yang sedang memasak makanan untuknya...

"Iya, peri kecilku... nanti kalau ibu sudah punya uang... ibu akan membelikanmu mainan yang bagus... sabar dulu ya nak..." Jawab Ibu Omah dengan mengelus rambut sang anak dan tatapan sedih karena tidak bisa membelikan mainan yang bagus kepada anaknya…dan sang anakpun tersenyum bahagia memeluk ibuny...

"Betapa malang nasib anakku... hanya sebuah mainan baru saja aku tak mampu untuk membelikannya... Seandainya suamiku masih hidup... aku pasti bisa membelikan mainan baru untuknya..." Kata bu Imah dalam hati sambil meneteskan air mata karena tidak tega melihat anaknya yang seolah-olah merasa iri dengan temannya yang lain...

Waktu berjalan seiring dengan langkah kaki bu Imah yang sedang berkeliling menjual agar-agar bersama Indah... Meski masih berumur 5 tahun, Indah anak yang menyayangi ibunya dan sabar...

Sudah 3 bulan yang lalu bu Imah mulai berjualan agar-agar... Hanya sedikit orang yang membelinya karena takut tidak aman. Meski begitu bu Imah tetap sabar dan berjuang terus untuk memenuhi kebutuhan anak perempuan satu-satunya itu.

Panas..., Hujan..., mereka lalui bersama. Setiap harinya mereka hanya mempu menghasilkan uang sebesar 10.000 rupiah... Untuk makanpun tidak cukup... Terkadang mereka memakan dagangannya sendiri. Betapa susahnya hidup mereka.

Ibu Imah sendirian memikul beban yang begitu besar untuk anaknya. Ingin rasanya air mata ini menangis bila melihat kedua orang tersebut berusaha... terutama ibu Imah yang ternyata menderita gagal ginjal.

Hal ini baru saja dia ketahui saat dia muntah darah dan memeriksakannya ke dokter. Bu Imah tidak mau meninggal dulu sebelum dia berhasil membelikan mainan baru yang diinginkan anaknya...

Setelah 6 hari... badan bu Imah serasa tidak berdaya lagi... Siang itu juga dia berusaha mati-matian untuk mendapatkan uang dengan udara panas yang sangat menyengat beliau terus berkeliling menjual dagangannya tanpa mengeluh sedikitpun...

Setelah terkumpul uang yang cukup... bu Imah segera membelikan anaknya mainan yang dia inginkan…Senang rasanya hati ini saat melihat Indah tersenyum bahagia karena melihat mainan barunya.

Malamnya bu Imah membawa indah ke sebuah panti asuhan dekat rumahnya. Bu Imah duduk di depan pintu panti asuhan dan menidurkan Indah di pangkuannya. Malam yang begitu dingin menjadi sangat hangat bagi bu Imah karena beliau dapat memeluk anaknya yang tidur dengan wajah pulas dan bahagia meski itu adalah saat terakhir bu Imah dengan anaknya Indah.

Bu Imahpun menulis sebuah surat pendek untuk anaknya...
"Untuk peri kecilku... demi engkau aku akan melakukan apapun asal kau bahagia... aku hanya ingin melihatmu tersenyum disaat kau baru lahir sampai disaat aku dipanggil olehNya... kau adalah nyawaku dan selamanya tetap peri kecil kesayanganku"

Mataharipun telah terbit... seluruh isi panti asuhan begitu sedih melihat bu Imah yang tergeletak tak bernyawa sambil memeluk Indah...

Indah yang masih kecil hanya bisa bertanya-tanya "Ada apa dengan ibu? kenapa ibu tidak membuka matanya?"

Ibu panti asuhanpun tidak tega melihat Indah... dia membawa indah ke dalam dan berjanji akan merawat Indah...

Saat Indah sudah dewasa dia akan menceritakan semua perjuangan ibunya yang begitu luar biasa...

Begitu hebatnya seorang Ibu... Dia melahirkan kita dan terus merawat kita dengan sabar sampai detik-detik terakhirnya...

Belajarlah untuk mulai menyayangi Ibu kita... buatlah dia tersenyum karena seorang Ibu hanya ingin melihat anaknya sukses dan dapat tersenyum bahagia...

Pengorbanan Seorang Ibu

Ibuku, yang membuka usaha katering untuk para guru dan murid guna menopang ekonomi keluarga,
hanya punya satu mata. Entah kenapa matanya yang satu buta. Yang jelas, aku benci kepadanya.
Ia memalukan.

Pernah suatu ketika saat aku duduk di bangku SD, Ibu menyapaku. Aku malu. Bagaimana bisa ia
melakukan hal itu kepadaku? Aku mengabaikan sapaannya, menatapnya dengan wajah benci, dan lari
menghindar. Keesokan harinya di sekolah, salah satu temanku mengatakan, Eeee, Ibumu hanya punya
satu mata, ya!" Aku sangat malu.

Hari itu, aku langsung menemuinya dan mengatakan, "Kalau tujuanmu adalah agar aku jadi bahan
tertawaan, kenapa kamu tidak mati saja!" Ibuku tidak meresponsnya. Dia diam saja. Aku bahkan tidak
memikirkan terlebih dahulu apa yang baru saja aku katakan itu, karena aku sangat marah. Aku tidak
memikirkan perasaannya. Aku ingin mingat dari rumah itu, dan tidak berhubungan dengannya.

Jadi, aku belajar dengan keras dan akhirnya mendapatkan beasiswa pendidikan di Singapura. Lalu aku
menikah. Aku membeli rumah sendiri dan memiliki dua orang anak. Aku sangat bahagia dengan hidupku
yang sekarang aku jalani.

Kemudian suatu hari, Ibuku datang mengunjungiku. Ia sudah tidak melihatku selama bertahun-tahun.
Bahkan, ia belum pernah bertemu dengan cucu-cucuku. Saat dia berdiri di depan pintu, anak-anakku
menertawainya, dan aku meneriakinya karena datang tanpa memberitahu terlebih dahulu. Aku berteriak
kepadanya, "Berani sekali kau kerumahku dan menakuti anak-anakku! Pergi dari sini sekarang!" Ibuku
hanya menjawab perlahan, "Oh, aku minta maaf. Aku mungkin salah alamat." Dia pun pergi.

Suatu hari, sebuah surat undangan reuni sekolah sampai di rumahku di Singapura. Aku memutuskan datang.
Dan, setelah acara reuni, karena penasaran, aku pergi mengunjungi rumah tuaku dulu. Tetanggaku
mengatakan bahwa ibuku sudah meninggal. Aku sama sekali tidak menangis, satu tetes air mata pun tidak
keluar dari mataku. Kemudian, tetanggaku memberikan sebuah surat dari Ibu. Ibu ingin aku membacanya.

"Anakku yang tersayang. Aku memikirkanmu setiap saat. Aku minta maaf karena aku datang ke Singapura dan
membuat anak-anakmu ketakutan. Aku sangat senang ketika mendengar bahwa kamu akan datang ke acara reuni.
Tapi aku mungkin bahkan tidak bisa beranjak dari tempat tidur untuk menemuimu. Aku minta maaf karena
selama ini aku banyak membuatmu malu. Tahukah kamu ... saat kamu masih sangat kecil, kamu
mengalami kecelakaan, dan kelihangan selah satu pengelihatanmu. Sebagai seorang Ibu, aku tidak tahan melihatmu
tumbuh hanya dengan satu mata. Jadi aku memberikan salah satu mataku kepadamu. Aku bangga karena putraku
dapat melihat dunia yang baru bagiku, dengan mataku."

Arti Seorang Ibu

Saat aku dilahirkan, ia memelukku.
Aku berterima kasih kepadanya dengan menangis sejadi-jadinya.

Saat aku berusia 1 tahun, ia memberiku makan dan memandikanku.
Aku berterima kasih kepadanya dengan menangis sepanjang malam.

Saat aku berusia 2 tahun, ia mengajariku berjalan.
Aku berterima kasih kepadanya dengan menghindar saat ia memanggilku.

Saat aku berusia 3 tahun, ia menyiapkan makanan untukku dengan penuh kasih.
Aku berterima kasih kepadanya dengan menjatuhkan piringku ke lantai.

Saat aku berusia 4 tahun, ia memberikanku pensil warna.
Aku berterima kasih kepadanya dengan mencoret-coret tembok rumahku.

Saat aku berusia 5 tahun, ia memberiku baju baru untuk merayakan hari raya.
Aku berterima kasih kepadanya dengan mengotorinya dengan lumpur.

Saat aku berusia 6 tahun, ia mengantarku ke sekolah.
Aku berterima kasih kepadanya dengan berteriak, "Aku tidak mau sekolah!"

Saat aku berusia 7 tahun, ia membelikanku boneka.
Aku berterima kasih kepadanya dengan bertengkar dan saling berebut dengan saudaraku.

Saat aku berusia 8 tahun, ia memberikan es krim untukku.
Aku berterima kasih kepadanya dengan menumpahkannya dipangkuanku.

Saat aku berusia 9 tahun, ia mengikutkan aku kursus piano.
Aku berterima kasih kepadanya dengan tidak pernah berlatih.

Saat aku berusia 10 tahun, ia mengantarku ke mana-mana -- dari satu tempat ke tempat lain,
dari satu rumah teman ke rumah teman yang lain.
Aku berterima kasih kepadanya dengan tidak pernah berpaling memandangnya saat berjalan menuju
tempat tujuan.

Saat aku berusia 11 tahun, ia mengantarku dan teman-temanku ke suatu acara.
Aku berterima kasih kepadanya dengan memintanya untuk duduk jauh dariku.

Saat aku berusia 12 tahun, ia memperingatkanku untuk tidak menonton acara-acara televisi tertentu.
Aku berterima kasih kepadanya dengan menunggu sampai ia pergi dari rumah.

Saat aku berusia 13 tahun, ia menyarankan suatu model potongan rambut untukku.
Aku berterima kasih kepadanya dengan mengatakan bahwa seleranya buruk.

Saat aku berusia 14 tahun, ia mengizinkan dan membiayaiku untuk ikut dalam suatu kegiatan retret.
Aku berterima kasih kepadanya dengan tidak pernah mengirimkan sms atau meneleponnya hanya untuk memberitahukan bahwa aku baik-baik saja.

Saat aku berusia 15 tahun, ia menginginkan sebuah pelukan sepulang dari kerja.
Aku berterima kasih kepadanya dengan pura-pura tidur di kamar.

Saat aku berusia 16 tahun, ia mengajariku mengendarai motor.
Aku berterima kasih kepadanya dengan memakai motor tanpa seizinnya.

Saat aku berusia 17 tahun, ia menantikan sebuah telepon penting.
Aku berterima kasih kepadanya dengan memakai telepon sepanjang malam.

Saat aku berusia 18 tahun, ia menangis bahagia karena aku lulus sekolah.
Aku berterima kasih kepadanya dengan bersenang-senang dengan teman-temanku sepanjang hari untuk merayakan kelulusan kami semua.

Saat aku berusia 19 tahun, ia membiayai kuliahku.
Aku berterima kasih kepadanya dengan selalu menolak tawarannya untuk mengantarku.

Saat aku berusia 20 tahun, ia bertanya apakah aku sudah punya pacar.
Aku berterima kasih kepadanya dengan mengatakan, "Itu bukan urusanmu, Bu."

Saat aku berusia 21 tahun, ia menyarankan beberapa pilihan karir untuk masa depanku.
Aku berterima kasih kepadanya dengan mengatakan, "Aku tidak mau jadi seperti Ibu."
Atau, "Aku tidak perlu nasihat Ibu, aku sudah cukup dewasa untuk menentukan apa
yang aku suka."

Saat aku berusia 22 tahun, ia memelukku saat acara kelulusan.
Aku berterima kasih kepadanya dengan bertanya, "Ibu, bisa tidak membiayai liburan keluar kota atau keluar negeri sebagai hadiah karena aku sudah lulus?"

Saat aku berusia 23 tahun, ia memberiku sebuah gaun sebagai hadiah ulang tahun.
Aku berterima kasih kepadanya dengan mengatainya jelek dan tidak sesuai selera anak muda zaman sekarang di mata teman-temanku.

Saat aku berusia 24 tahun, ia bertemu dengan kekasihku dan bertanya tentang rencana masa depan kami berdua.
Aku berterima kasih kepadanya dengan berkata kesal sambil mata membelalak, "Ibu, tolong jangan bicarakan masalah itu."

Saat aku berusia 25 tahun, ia menangis bahagia saat aku mengucapkan janji setia kepada pasanganku di depan pendeta.
Aku berterima kasih kepadanya dengan jarang sekali mengunjunginya.

Saat aku berusia 30 tahun, ia memberiku beberapa saran dalam merawat bayi.
Aku berterima kasih kepadanya dengan mengatakan, "Ibu, zaman sudah berbeda, caranya bukan lagi seperti yang Ibu dulu lakukan saat merawatku."

Saat aku berusia 40 tahun, ia mengingatkanku akan ulang tahun seorang kerabat.
Aku berterima kasih kepadanya dengan mengatakan kepadanya bahwa aku sedang sangat sibuk sekarang.

Saat aku berusia 50 tahun, ia sakit dan butuh bantuanku.
Aku berterima kasih kepadanya dengan dengan merawatnya sambil menggerutu.

Dan kemudian, suatu hari ia meninggal. Dan saat itu, setiap hal yang harusnya aku lakukan namun
tidak aku lakukan terlintas dipikiranku bagaikan guntur.

Terlambat!

Oleh: Tidak Diketahui

Rumah sakit ditempat saya bekerja, biasanya sangat sepi pada bulan Januari. Saya berada di ruang suster jaga di lantai tujuh. Saat itu sudah jam 9 malam. Saya sampirkan sthetoscope melingkari leher saya dan menuju kamar 712, kamar terakhir dari lantai 7. Kamar 712 dimasuki pasien baru bernama Tuan Williams, seorang laki laki yang pendiam dan tidak menceritakan tentang keluarganya.

Pada saat saya memasuki kamar, matanya sepertinya ingin tahu siapa yang datang, tetapi akhirnya sayu ketika mengetahui saya yang memasuki kamar tersebut. Saya tekan stethoscope ke dadanya dan mendengarkannya. Cepat, perlahan, kadang kadang tidak beraturan. Ada indikasi bahwa dia menderita sedikit. Ia menderita serangan jantung beberapa jam yang lalu.

Lalu ia berkata, "Suster, maukah kamu..", lalu ia terdiam, dan dari kelopak matanya mengalir air mata, saya sentuh tangannya menunggu kelanjutan bicaranya, lalu ia mengusap airmatanya dan berkata, "Maukah engkau menelpon anakku dan memberitahukannya bahwa aku terkena serangan jantung.. saya tinggal sendirian, dan dia adalah satu satunya sanak saudara saya."

Pernafasannya tiba-tiba saja mencepat, lalu aku naikkan kadar oxigennya menjadi 8 liter permenit.

Lalu saya katakan, "Tentu saja saya akan telpon dia", sambil memperhatikan mukanya.

Dia menarik sprei, sehingga dia dapat maju, dari air mukanya terpancar rasa penting sekali, dan berkata "Maukah engkau memanggilnya sekarang? Secepat engkau bisa?" Ia bernafas cepat, terlalu cepat.

"Saya akan menelepon dia secepatnya", kata saya sambil menepuk pundaknya, lalu saya menuju pintu, mematikan lampu, dan ia menutup mata dari wajah yang sudah berusia 50 tahun itu.

Sebelum saya sampai ke pintu bapak itu memanggil saya lagi "Suster, bisakah anda memberikan saya kertas dan pen?"

Lalu saya ambil kertas bekas berwarna kuning, dan pen dari kantong saya, lalu meninggalkan kamar tersebut menuju ruang suster jaga.

Lalu saya mencari berkas Tuan William, dan mendapatkan nomor telpon anak Tuan Williams dari sana lalu saya mulai meneleponnya. Suara yang halus menjawab.

"Janie ini Sue Kidd, suster dari Rumah sakit, Saya menelepon kamu tentang ayah kamu, dia masuk Rumah sakit sore ini karena sedikit serangan jantung dan ..."

"Oh tidak!" ia menjerit mengagetkan saya. "Dia tidak dalam keadaan sekarat kan?"

"Sekarang dalam keadaan stabil," jawab saya. Semua terdiam, dan saya menggigit bibir saya.

"Kau tidak boleh membiarkan dia mati!" katanya. Suaranya begitu sedih, membuat tangan saya gemetar memegang gagang telepon itu.

"Ia dalam penanganan yang paling baik", jawab saya.

"Tapi kamu tidak mengerti," jawabnya. "Ayah dan saya tidak pernah bicara. Pada ulang tahun ke 21 saya, kami berkelahi, mengenai pacar saya, lalu saya kabur dari rumah. Saya tidak mau kembali. Beberapa bulan ini saya ingin menemuinya untuk meminta maaf, dan kalimat terakhir yang saya katakan kepadanya adalah aku membencimu!".

Saya mendengar Janie terisak isak. Saya duduk, mendengarkan dan air mata saya membakar mata saya. Seorang ayah dan anak, masing masing sangat kehilangan, sehingga membuat saya memikirkan ayah saya yang jauh, dan sudah lama rasanya saya tidak mengatakan aku sayang Papa.

Ketika Janie berusaha mengendalikan tangisnya, saya dalam hati berdoa, "Tuhan biarkan anak ini menemukan pengampunan."

"Saya datang dalam 30 menit," katanya dan klik! Sambungan telepon terputus.

Saya berusaha menyibukkan diri dengan merapikan kembali file file di meja, tetapi saya tidak bisa ber konsentrasi. Kamar 712! Ya saya tahu saya harus kembali ke kamar 712!

Saya setengah berlari kekamar 712 dan secepatnya membuka pintu. Tuan Williams terbaring tidak bergerak, dan saya mengecek denyut nadinya. Tidak ada!

"Kode 99, kamar 712. Kode 99. Stat.", pemberitahuan tersebut terdengar di seluruh rumah sakit dalam sekejab, sesudah saya laporkan ke Dokter jaga.

Tuan William terkena serangan jantung! Dengan secepatnya saya membuat nafas buatan dua kali, lalu menaruh tangan saya di jantungnya dan mulai memompa dadanya. Saya menghitung Satu, Dua,Tiga. Pada hitungan ke 15 saya kembali membuat nafas buatan. Kemanakah bantuan Dokter? Lalu saya lakukan kembali memompa jantungnya. Saya berkata Oh Tuhan jangan biarkan orang ini mati anaknya sedang dalam perjalanan, dan jangan biarkan berakhir seperti ini.

Pintu kamar terbuka lebar, Dokter dan suster lainnya masuk, dan mendorong alat alat bantu. Dokter langsung mengambil alih memompa jantung.

Saya berkata, "Tuhan, jangan biarkan berakhir seperti ini, jangan dalam keadaan kepahitan dan kebencian. Anaknya dalam perjalanan, dan biarkan dia mendapatkan kedamaian."

"Mundur" teriak seorang dokter.

Saya menyerahkan kepadanya pengejut lisrik, lalu ia taruh di dada tuan Williams beberapa kali kami lakukan, tetapi tidak berhasil, Tuan Williams sudah meninggal.

Suster yang lain mencopotkan selang oksigen, dan alat alat dari tubuh Tuan Williams, kemudian satu persatu meninggalkan ruangan tersebut, hanya tinggal saya sendiri sambil bergumam, "Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bagaimana? Bagaimana saya menghadapi anaknya?"

Ketika saya keluar dari kamar tersebut, saya melihat seseorang berdiri di dekat air mancur, dokter yang tadi berada dikamar 712 berdiri disampingnya, berbicara dengannya sambil memegang bahunya. Lalu dokter itu pergi, meninggalkannya. Dan saya menduga bahwa orang tersebut adalah Janie. Janie langsung menyandarkan badannya ke dinding. Rasa terpukul terlihat dari wajahnya. Dokter telah memberitahukan bahwa ayahnya telah pergi.

Saya menggandeng tangannya dan membawanya ke ruangan suster. Kami duduk di bangku hijau tanpa berkata apa-apa. Ia menatap tajam kalender, dengan tatapan kosong.

"Janie, maafkan saya"

Lalu Janie menjawab, "Saya tidak pernah membencinya, kamu tahu, saya mencintainya".

Dalam hati saya berkata "Tuhan tolong Janie"

Tiba tiba Janie berkata, "Saya mau melihat ayah saya".

Dalam pikiran saya mengatakan Mengapa engkau ingin menambah kepedihan? Melihat ayahnya hanya akan menambah kesedihan. Saya berdiri, dan merangkulnya, lalu kami berjalan perlahan lahan menuju pintu kamar 712. Sebelum masuk kamar, saya memegang tangan Janie sedikit keras, berharap agar Janie akan berubah pikiran. Janie membuka pintu kamar, dan kami menuju ke arah tempat tidur. Janie duduk dipinggir tempat tidur, dan membenamkan mukanya ke seprai. Saya berusaha untuk tidak melihat Janie pada saat seperti ini, sedih, sedih ditinggalkan seseorang dicintainya, yang telah lama tidak bertemu.

Saya bersandar ke meja disamping tempat tidur, dan tangan saya menyentuh ke sepotong kertas kuning, saya ambil dan membacanya:

Janie ku sayang,

Aku memaafkanmu. Aku berdoa agar engkau juga Memaafkanku. Aku tahu engkau mencintaiku. Aku mencintai engkau juga.

Ayah.

Kertas itu membuat tangan saya bergetar ketika saya menyerahkannya kepada Janie. Janie membacanya sekali, kemudian dua kali, wajahnya perlahan-lahan bersinar, kedamaian mulai terpancar dari matanya. Kemudian ia memeluk kertas tersebut.

Kataku "Terima kasih Tuhan" sambil melihat ke arah jendela.

Beberapa bintang terlihat bersinar di kegelapan malam. Butiran salju jatuh dijendela dan mencair, pergi selamanya. Kehidupan terlihat sama rapuhnya seperti butiran salju. Terima kasih Tuhan, bahwa Hubungan seringkali dapat rapuh seperti butiran salju, tetapi dapat diperbaiki kembali, walaupun tidak ada waktu yang indah yang dialami bersama. Saya bergegas keluar dari kamar, dan menuju telepon. Saya ingin menelepon ayah saya, dan mengatakan "Saya mencintai engkau"

Orangtua yang Kesepian

Oleh: Tidak Diketahui
Kiriman: Azallea Lesmana

Suatu hari seorang teman saya pergi ke rumah orang jompo atau lebih terkenal dengan sebutan panti werdha bersama dengan teman-temannya. Kebiasaan ini mereka lakukan untuk lebih banyak mengenal bahwa akan lebih membahagiakan kalau kita bisa berbagi pada orang-orang yang kesepian dalam hidupnya.

Ketika teman saya sedang berbicara dengan beberapa ibu-ibu tua, tiba-tiba mata teman saya tertumpu pada seorang opa tuayang duduk menyendiri sambil menatap kedepan dengan tatapan kosong. Lalu sang teman mencoba mendekati opa itu dan mencoba mengajaknya berbicara. Perlahan tapi pasti sang opa akhirnya mau mengobrol dengannya sampai akhirnya si opa menceritakan kisah hidupnya.

Si opa memulai cerita tentang hidupnya sambil menghela napas panjang.

Sejak masa muda saya menghabiskan waktu saya untuk terus mencari usaha yang baik untuk keluarga saya, khususnya untuk anak-anak yang sangat saya cintai. Sampai akhirnya saya mencapai puncaknya dimana kami bisa tinggal di rumah yang sangat besar dengan segala fasilitas yang sangat bagus. Demikian pula dengan anak-anak saya, mereka semua berhasil sekolah sampai keluar negeri dengan biaya yang tidak pernah saya batasi. Akhirnya mereka semua berhasil dalam sekolah juga dalam usahanya dan juga dalam berkeluarga.

Tibalah dimana kami sebagai orangtua merasa sudah saatnya pensiun dan menuai hasil panen kami. Tiba-tiba istri tercinta saya yang selalu setia menemani saya dari sejak saya memulai kehidupan ini meninggal dunia karena sakit yang sangat mendadak. Lalu sejak kematian istri saya tinggallah saya hanya dengan para pembantu kami karena anak-anak kami semua tidak ada yg mau menemani saya karena mereka sudah mempunyai rumah yang juga besar.

Hidup saya rasanya hilang, tiada lagi orang yang mau menemani saya setiap saat saya memerlukannya. Tidak sebulan sekali anak-anak mau menjenguk saya ataupun memberi kabar melalui telepon. Lalu tiba-tiba anak sulung saya datang dan mengatakan kalau dia akan menjual rumah karena selain tidak effisien juga toh saya dapat ikut tinggal dengannya. Dengan hati yang berbunga saya menyetujuinya karena toh saya juga tidak memerlukan rumah besar lagi tapi tanpa ada orang-orang yang saya kasihi di dalamnya.

Setelah itu saya ikut dengan anak saya yang sulung. Tapi apa yang saya dapatkan? Setiap hari mereka sibuk sendiri-sendiri dan kalaupun mereka ada di rumah tak pernah sekalipun mereka mau menyapa saya. Semua keperluan saya pembantu yang memberi. Untunglah saya selalu hidup teratur dari muda maka meskipun sudah tua saya tidak pernah sakit-sakitan. Lalu saya tinggal di rumah anak saya yang lain. Saya berharap kalau saya akan mendapatkan sukacita idalamnya, tapi rupanya tidak. Yang lebih menyakitkan semua alat-alat untuk saya pakai mereka ganti, mereka menyediakan semua peralatan dari kayu dengan alasan untuk keselamatan saya tapi sebetulnya mereka sayang dan takut kalau saya memecahkan alat-alat mereka yang mahal-mahal itu.

Setiap hari saya makan dan minum dari alat-alat kayu atau plastik yang sama dengan yang mereka sediakan untuk para pembantu dan anjing mereka. Setiap hari saya makan dan minum sambil mengucurkan airmata dan bertanya di manakah hati nurani mereka?

Akhirnya saya tinggal dengan anak saya yang terkecil, anak yang dulu sangat saya kasihi melebihi yang lain karena dia dulu adalah seorang anak yang sangat memberikan kesukacitaan pada kami semua. Tapi apa yang saya dapatkan? Setelah beberapa lama saya tinggal disana akhirnya anak saya dan istrinya mendatangi saya lalu mengatakan bahwa mereka akan mengirim saya untuk tinggal di panti jompo dengan alasan supaya saya punya teman untuk berkumpul dan juga mereka berjanji akan selalu mengunjungi saya.

Sekarang sudah 2 tahun saya disini tapi tidak sekalipun dari mereka yang datang untuk mengunjungi saya apalagi membawakan makanan kesukaan saya. Hilanglah semua harapan saya tentang anak-anak yang saya besarkan dengan segala kasih sayang dan kucuran keringat. Saya bertanya-tanya mengapa kehidupan hari tua saya demikian menyedihkan padahal saya bukanlah orangtua yang menyusahkan, semua harta saya mereka ambil. Saya hanya minta sedikit perhatian dari mereka tapi mereka sibuk dengan diri sendiri. Kadang saya menyesali diri mengapa saya bisa mendapatkan anak-anak yang demikian buruk. Masih untung disini saya punya teman-teman dan juga kunjungan dari sahabat-sahabat yang mengasihi saya tapi tetap saya merindukan anak-anak saya.

Sejak itu teman saya selalu menyempatkan diri untuk datang kesana dan berbicara dengan sang opa. Lambat laun tapi pasti kesepian di mata sang opa berganti dengan keceriaan apalagi kalau sekali-sekali teman saya membawa serta anak-anaknya untuk berkunjung.

Sampai hatikah kita membiarkan para orangtua kesepian dan menyesali hidupnya hanya karena semua kesibukan hidup kita. Bukankah suatu haripun kita akan sama dengan mereka, tua dan kesepian?

Kapan terakhir kali kamu berbicara dengan mereka? Mereka membutuhkanmu!

Cinta Yang Tak Pernah Padam Selama 60 Tahun

Oleh: Tidak Diketahui
Kiriman: Handoko Luwanto

Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk.

Lalu aku baca tahun "1924". Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya. Tertulis di sana, "Sayangku Michael", yang menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah melarangnya. Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani oleh Hannah. Surat itu begitu indah.

etapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada pada amplop itu. "Operator," kataku pada bagian peneragan, "Saya mempunyai permintaan yang agak tidak biasa. sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?"

Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata, "Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa memberitahukannya pada anda." Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku menunggu beberapa menit.

Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, "Ada orang yang ingin berbicara dengan anda." Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia menarik nafas, "Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu!" "Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?" tanyaku. "Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu," kata wanita itu. "Mungkin, bila anda menghubunginya mereka bisa mencaritahu dimana anak mereka, Hannah, berada." Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo.

"Semua ini tampaknya konyol," kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang berada. Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, "Ya, Hannah memang tinggal bersama kami." Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah. "Ok," kata pria itu agak bersungut-sungut, "bila anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah."

Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut. Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas malam menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah, perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar. Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam dan berkata, "Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan Michael." Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan lembut, "Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu." "Ya," lanjutnya. Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. "Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,......."

Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, ......katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda," katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, "aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Michael." Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di sana menyapa, "Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?" Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, "Aku hanya mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini." Aku keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya. Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, "Hei, tunggu dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang itu.Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini."

"Siapakah Pak Goldstein itu?" tanyaku. Tanganku mulai gemetar. "Ia adalah penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang berjalan-jalan di luar." Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika sampai di lantai delapan, perawat berkata, "Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan." Kami menuju ke satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria membaca buku. Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet. Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan berkata, "Oh ya, dompetku hilang!" Perawat itu berkata, "Tuan muda yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet anda?" Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira. Katanya, "Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi sore. Aku akan memberimu hadiah." "Ah tak usah," kataku. "Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini."

Senyumnya langsung menghilang. "Kamu membaca surat ini?" "Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang." Wajahnya tiba-tiba pucat. "Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku," ia memohon. "Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik seperti saat anda mengenalnya," kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, "Maukah anda mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok." Ia menggenggam tanganku, "Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat surat itu datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu mencintainya."

"Michael," kataku, "Ayo ikuti aku." Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. Perawat mendekatinya perlahan.

"Hannah," kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu masuk. "Apakah anda tahu pria ini?" Hannah membetulkan kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Michael berkata pelan, hampir-hampir berbisik, "Hannah, ini aku, Michael. Apakah kau masih ingat padaku?" Hannah gemetar, "Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!" Michael berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami. "Lihatlah," kataku. "Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak, maka jadilah."

Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo itu. "Apakah anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta perkawinan di hari Minggu mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!" Dan pernikahan itu, pernikahan yang indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut merayakan pesta. Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku sebagai wali mereka. Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka.

Dan bila anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun bertingkah seperti anak remaja, anda harus melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 60 tahun.

Jajak Pendapat tentang Pria dan Wanita

Daftar ini adalah hasil jajak pendapat di Amerika yang diambil dari lebih 15.000 orang pria dan wanita berusia 17-60 tahun, dengan tujuan untuk mengetahui apa yang dicari wanita dalam
pasangan seksual jangka panjangnya dan apa menurut pria yang diinginkan wanita.

A. Apa yang Dicari Wanita
1. Kepribadian
2. Ras humor
3. Kepekaan
4. Kecerdasan
5. Bentuk tubuh bagus

B. Menurut Pria, Apa yang Dicari Wanita
1. Kepribadian
2. Tubuh bagus
3. Rasa humor
4. Kepekaan
5. Ketampanan

Penelitian ini menunjukkan bahwa pria memiliki pengertian yang cukup baik tentang apa yang dicari wanita dalam diri pria. Pria menempatkan 'Tubuh Bagus' tinggi pada daftar B, tetapi ternyata itu tidak tinggi pada daftar kriteria wanita. Dan 15% dari pria percaya bahwa memiliki alat kelamin besar penting bagi mereka untuk memikat wanita, namun ternyata hanya 2% wanita yang
mengatakan bahwa itu penting. Beberapa pria begitu yakin bahwa ukuran alat kelamin sangat penting karena itu alat untuk memperpanjangnya sekarang dijual di toko-toko seks dan di
majalah-majalah mana pun.

Sekarang mari kita lihat apa yang diinginkan pria dari pasangan seksual jangka panjang mereka
dan apa yang menurut wanita mereka cari pada wanita.

C. Apa yang Dicari Pria
1. Kepribadian
2. Kecantikan
3. Kecerdasan
4. Selera humor
5. Keindahan tubuh

D. Menurut wanita, Apa yang Dicari Pria
1. Kecantikan
2. Keindahan Tubuh
3. Dada indah
4. Bokong besar
5. Kepribadian

Seperti yang Anda lihat, wanita dianggap tidak terlalu sadar pada apa yang dicari pria untuk hubungan jangka panjang. Itu karena wanita mendasari pendapatnya pada sifat dasar pria
yang mereka lihat atau dengar - pria meraba-raba tubuh wanita.

Pada daftar A merupakan daftar kriteria yang dicari wanita untuk hubungan jangka panjang dan pendek, tetapi bagi pria, yang dicarinya lain hal. Pada daftar D adalah apa yang dicari pria
pada seorang wanita ketika pertemuan pertama mereka. Tetapi daftar C adalah daftar kriteria yang mereka cari untuk hubungan jangka panjang.

Motivasi Kehidupan (Motivation of Live)

1. Jangan tertarik kepada seseorang karena parasnya sebab keelokan paras dapat menyesatkan. Jangan pula tertarik kepada kekayaannya karena kekayaan dapat musnah. Tertariklah kepada seseorang yang dapat membuatmu tersenyum, karena hanya senyum yang dapat membuat hari-hari yang gelap menjadi cerah. Semoga kamu menemukan orang seperti itu.

2. Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan pergilah ke tempat-tempat kamu ingin pergi. Jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan.

3. Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Tetapi sering kali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.

4. Sahabat terbaik adalah dia yang dapat duduk berayun-ayun di beranda bersamamu, tanpa mengucapkan sepatah katapun , dan kemudian kamu meninggalkannya dengan perasaan telah bercakap- cakap lama dengannya.

5. Sungguh benar bahwa kita tidak tahu apa yang kita miliki sampai kita kehilangannya, tetapi sungguh benar pula bahwa kita tidak tahu apa yang belum pernah kita miliki sampai kita mendapatkannya.

6. Pandanglah segala sesuatu dari kacamata orang lain. Apabila hal itu menyakitkan hatimu, sangat mungkin hal itu menyakitkan hari orang lain pula.

7. Awal dari cinta adalah membiarkan orang yang kita cintai menjadi dirinya sendiri, dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kita inginkan. Jika tidak, kita hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kita temukan di dalam dia.

8. Orang-orang yang paling berbahagiapun tidak selalu memiliki hal-hal terbaik, mereka hanya berusaha menjadikan yang terbaik dari setiap hal yang hadir dalam hidupnya.

9. Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dengan beberapa orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterimakasih atas karunia itu.

10. Hanya diperlukan waktu seminit untuk menaksir seseorang, sejam untuk menyukai seseorang dan sehari untuk mencintai seseorang, tetapi diperlukan waktu seumur hidup untuk melupakan seseorang.

11. Kebahagiaan tersedia bagi mereka yang menangis, mereka yang disakiti hatinya, mereka yang mencari dan mereka yang mencoba. Karena hanya mereka itulah yang menghargai pentingnya orang- orang yang pernah hadir dalam hidup mereka.

12. Cinta datang kepada mereka yang masih berharap sekalipun pernah dikecewakan, kepada mereka yang masih percaya sekalipun pernah dikhianati, kepada mereka yang masih mencintai sekalipun pernah disakiti hatinya.

13. Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan tidak pernah memiliki keberanian untuk mengutarakan cintamu kepadanya.

14. Jangan pernah mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba, jangan pernah menyerah jika kamu masih merasa sanggup, jangan pernah mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya.

15. Memberikan seluruh cintamu kepada seseorang bukanlah jaminan dia akan membalas cintamu. Jangan mengharapkan balasan cinta, tunggulah sampai cinta berkembang di hatinya, tetapi jika tidak, berbahagialah karena cinta tumbuh di hatimu.

16. Ada hal-hal yang sangat ingin kamu dengar tetapi tidak akan pernah kamu
dengar dari orang yang kamu harapkan untuk mengatakannya. Namun demikian, janganlah menulikan telinga untuk mendengar dari orang yang mengatakannya dengan sepenuh hati.

17. Waktu kamu lahir, kamu menangis dan orang- orang disekelilingmu tersenyum. Jalanilah hidupmu sehingga pada waktu kamu meninggal, kamu tersenyum dan orang-orang di sekelilingmu menangis.

Jadi, pernahkah kamu berpikir bahwa hidup ini demikian mudah dan indah?

Paulus Winarto

Dari: http://blog.pauluswinarto.com

Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.
- Buku Kehidupan

"Sama sekali tidak ada penyesalan di hati saya," kata seorang mantan wanita karir kepada saya saat saya menanyakan apakah ada penyesalan setelah ia meninggalkan pekerjaannya demi mengasuh anaknya yang baru berusia lima bulan. Ketika saya tanyakan lebih lanjut, apa motivasi utama sehingga ia dengan tekad bulat mengucapkan selamat tinggal kepada karir yang telah dirintisnya sejak bertahun-tahun silam, dengan santai ia berujar, "Sekarang peran saya sudah berubah. Jadi buat apa disesali? Daripada saya di kantor tapi pikiran saya masih di rumah."

Artikel ini saya tulis bukan dengan tendensi mengatakan wanita tidak boleh berkarir atau berbisnis. Sama sekali tidak! Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk sejenak merenungkan kembali prioritas dalam hidup kita. Benar kata orang bijak, kalau hidup ini memang penuh dengan pilihan. Dan setiap pilihan mengandung konsekuensi tersendiri, entah kita sadari atau tidak.

Ada kisah mengenai sepasang ayah ibu yang begitu giatnya bekerja. Hampir saban hari, mereka berangkat kerja pagi-pagi ketika putri tunggalnya yang masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar sedang tidur. Alhasil, mereka hampir tidak pernah punya waktu untuk sekedar bersantap pagi dengan sang putri tercinta. Dan biasanya, mereka baru tiba di rumah sekitar pukul sembilan malam, saat sang putri sudah mulai terlelap dalam tidurnya.

Pada suatu pagi di hari minggu, sang ibu melihat gambar hasil karya anaknya itu. Dalam gambar tersebut ada gambar rumah mereka dan gambar sang putri yang sedang bermain bersama sang pembantu. Tidak ada gambar dirinya serta sang suami. Ibu bertanya kepada sang putri, "Mengapa dalam gambar tersebut tidak ada ayah dan ibu?" Dengan wajah tidak berdosa, sang putri langsung menjawab, "Habis, ayah dan ibu ngga pernah ada di rumah, sih."

Suatu hari seorang teman mengirimkan saya sebuah e-mail berisi foto lembar jawaban ujian anak kelas satu sekolah dasar (SD). Tampak ada sebuah soal ujian berisi gambar seorang wanita sedang mengasuh seorang anak kecil, lalu ada pertanyaan: gambar di samping menunjukkan kasih sayang seorang… a.Pembantu. b.Ibu. c.Ayah. Percaya atau tidak, anak tersebut memberikan tanda silang pada jawaban a.Pembantu. Barangkali karena selama ini, sang anak hanya merasakan hal tersebut dari pembantu. Dia jujur dan menjawab apa adanya. Menurut saya, orang tua sama sekali tidak berhak memarahinya dalam kasus ini. Justru lembaran jawaban ini seharusnya menjadi refleksi serius bagi kedua orang tuanya.

Di sisi lain, saya banyak menemukan kisah tentang kasih sayang dari orang tua yang kemudian membantu anak berkembang menjadi insan yang mandiri. Salah satunya adalah Patricia Saerang, anggota AMFPA (Association of Mouth and Foot Painting Artists/ asosiasi para pelukis cacat yang melukis dengan kaki atau mulutnya) yang berpusat di Swiss. Dalam salah satu suratnya yang ditulis dengan menggunakan kaki kirinya, ia mengungkapkan betapa besar peranan orang tuanya. “Saya lahir di Manado tahun 1968. Tuhan tidak memberikan tangan dan kaki yang normal tapi Tuhan menganugerahi saya dengan pikiran yang tajam dan kemauan yang kuat untuk bertahan hidup dan menjadi manusia yang produktif. Dan saya beruntung mempunyai orang tua yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungan. Karena saya tidak mempunyai tangan, saya belajar menggunakan kaki kiri untuk mengerjakan semua hal, termasuk makan dan menulis.”


Pemain basket terkenal dan juga menjadi model iklan, Shaquille O’Neal pernah memberikan komentar mengenai peran orang tuanya. “Perlu banyak usaha untuk membuat saya bersemangat. Dan, tahukah Anda apa yang membuat saya bersemangat? Ketika ibu saya mengatakan bahwa ia mengasihi saya.” Wow! Saya jadi teringat syair sebuah lagu, “I am shinning like a candle in the dark when you tell me that you love me.”

Ya, bagaimana pun juga kasih adalah motivasi terbaik dalam setiap kehidupan. Kasih seringkali berasal dari rumah namun kebencian pun sering kali berawal dari rumah. Jika di rumah anak sungguh merasa dikasihi, ia akan lebih mudah untuk mengasihi orang lain, baik di dalam maupun di luar rumah. Sebaliknya jika di rumah anak merasakan kebencian (entah kebencian akibat hubungan yang kurang harmonis antara anak dan orang tua atau antara ayah dan ibu), biasanya anak akan punya kecenderungan membenci orang lain, baik di dalam maupun di luar rumah. Hurting people hurts people!

Diakui atau tidak, pada akhir hidup seseorang, ia biasanya ingin dikenang sebagai ayah dan ibu yang baik, saudara yang baik serta sahabat yang baik. Bukan dikenang sebagai orang hebat, punya karir yang bagus, punya harta berlimpah, dan seterusnya. Apa gunanya seseorang yang memiliki seluruh dunia namun kehilangan keluarganya? Tampaknya nasihat dari mentor saya Dr. John C. Maxwell patut juga kita renungkan, "Success is those closest to you love and respect you the most." Ya, sukses akan kita dapatkan ketika mereka yang paling dekat dengan kita mengasihi dan menghormati kita lebih daripada yang lain. Tidak ada salahnya jika sejenak kita meluangkan waktu untuk bertanya kepada diri kita sendiri, siapakah saja orang-orang yang paling mengasihi dan menghormati kita? ***

* Paulus Winarto adalah pemegang 2 Rekor Indonesia dari Museum Rekor Indonesia (MURI) yakni sebagai pembicara seminar yang pertama kali berbicara dalam seminar di angkasa dan penulis buku yang pertama kali bukunya diluncurkan di angkasa. Sejumlah bukunya masuk dalam kategori best seller (al: First Step to be An Entrepreneur, Reach Your Maximum Potential, Be Strong, Melejit di Usia Muda dan The Power of HOPE). Ia banyak menimba ilmu kepemimpinan dari guru kepemimpinan internasional, Dr. John C Maxwell. Guru marketing Hermawan Kartajaya menjuluki Paulus sebagai "manusia kompleks". Paulus dapat dihubungi melalui e-mail: pwinarto@cbn.net.id atau www.pauluswinarto.com.

Nice Story For Couple

Pada hari pernikahanku, aku membopong istriku. Mobil pengantin berhenti di depan flat kami yang cuma berkamar satu. Sahabat-sahabatku menyuruhku untuk membopongnya begitu keluar dari mobil. Jadi kubopong ia memasuki rumah kami. Ia kelihatan malu-malu. Aku adalah seorang pengantin pria yang sangat bahagia. Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu. Hari-hari selanjutnya berlalu demikian simpel seperti secangkir air bening. Kami mempunyai seorang anak, saya terjun ke dunia usaha dan berusaha untuk menghasilkan banyak uang. Begitu kemakmuran meningkat, jalinan kasih di antara kami pun semakin surut. Ia adalah pegawai sipil. Setiap pagi kami berangkat kerja bersama-sama dan sampai di rumah juga pada waktu yang bersamaan.

Anak kami sedang belajar di luar negeri. Perkawinan kami kelihatan bahagia. Tapi ketenangan hidup berubah dipengaruhi oleh perubahan yang tidak kusangka-sangka. Dewi hadir dalam kehidupanku. Waktu itu adalah hari cerah, aku berdiri di balkon dengan Dewi yang sedang merangkulku. Hatiku sekali lagi terbenam dalam aliran cintanya ini adalah apartemen yang kubelikan untuknya. Dewi berkata, “Kamu adalah jenis pria terbaik yang menarik para gadis.”

Kata-katanya tiba-tiba mengingatkanku pada istriku, ketika kami baru menikah, istriku pernah berkata, “Pria sepertimu, begitu sukses, akan menjadi sangat menarik bagi para gadis.” Berpikir tentang itu, aku menjadi ragu-ragu, aku tahu kalau aku telah menghianati istriku. Tapi aku tidak sanggup menghentikannya. Aku melepas tangan Dewi dan berkata, “Kamu harus pergi membeli beberapa perabot, ok? Aku ada sedikit urusan di kantor.” Kelihatan ia jadi tidak senang karena aku telah berjanji menemaninya.

Pada saat tersebut, ide perceraian menjadi semakin jelas di pikiranku walaupun kelihatan tidak mungkin. Bagaimanapun, aku merasa sangat sulit untuk membicarakan hal ini pada istriku. Walau bagaimanapun kujelaskan, ia pasti akan sangat terluka. Sejujurnya, ia adalah seorang istri yang baik. Setiap malam ia sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk santai di depan TV, makan malam akan segera tersedia. Lalu kami akan menonton TV sama-sama atau aku akan menghidupkan komputer, membayangkan tubuh Dewi. Ini adalah hiburan bagiku.

Suatu hari berbicara dalam canda, “Seandainya kita bercerai, apa yang akan kau lakukan?” Ia menatap padaku selama beberapa detik tanpa bersuara. Kenyataannya ia percaya bahwa perceraian adalah sesuatu yang sangat jauh dari bayangannya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia akan menghadapi kenyataan jika tahu bahwa aku serius.

Ketika istriku mengunjungi kantorku, Dewi baru saja keluar dari ruanganku. Hampir seluruh staff menatap istriku dengan mata penuh simpati dan berusaha untuk menyembunyikan segala sesuatu selama berbicara dengannya. Ia kelihatan sedikit curiga, ia berusaha tersenyum pada bawahan-bawahanku. Tapi aku membaca ada kelukaan di matanya.

Sekali lagi, Dewi berkata padaku, “He Ning, ceraikan ia, ok?, lalu kita akan hidup bersama.” Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak boleh ragu-ragu lagi. Ketika malam itu istriku menyiapkan makan malam, kupegang tangannya, “Ada sesuatu yang harus kukatakan.” Ia duduk diam dan makan tanpa bersuara. Sekali lagi aku melihat ada luka di matanya.

Tiba-tiba aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia harus tahu kalau aku terus berpikir “aku ingin bercerai”, kuungkapkan topik ini dengan serius tapi tenang. Ia seperti tidak terpengaruh oleh kata-kataku, tapi ia bertanya secara lembut, “Kenapa?”. Aku menghindari pertanyaannya. Jawaban ini membuat ia sangat marah. Ia melemparkan sumpit dan berteriak kepadaku “Kamu bukan laki-laki!”.

Pada malam itu, kami saling membisu. Ia sedang menanggis. Aku tahu kalau ia ingin tahu apa yang telah terjadi dengan perkawinan kami. Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan sebab hatiku telah dibawa pergi oleh Dewi. Dengan perasaan yang amat bersalah, aku menuliskan surat perceraian di mana istriku memperoleh rumah, mobil dan 30% saham dari perusahaanku. Ia memandangnya sekilas dan mengoyaknya jadi beberapa bagian. Aku merasakan sakit dalam hati.

Wanita yang telah 10 tahun hidup bersamaku sekarang menjadi seorang yang asing dalam hidupku. Tapi aku tidak bisa mengembalikan apa yang telah kuucapkan. Akhirnya ia menangis dengan keras di depanku, di mana hal tersebut tidak pernah kulihat sebelumnya. Bagiku tangisannya merupakan suatu pembebasan untukku. Ide perceraian telah menghantuiku dalam beberapa minggu ini dan sekarang sungguh-sungguh telah terjadi.

Pada larut malam, aku kembali ke rumah setelah menemui klienku. Aku melihat ia sedang menulis sesuatu. Karena capek aku segera ketiduran. Ketika aku terbangun tengah malam, aku melihat ia masih menulis. Aku tertidur kembali. Ia menuliskan syarat-syarat dari perceraiannya, ia tidak menginginkan apapun dariku, tapi aku harus memberikan waktu sebulan sebelum menceraikannya, dan dalam waktu sebulan itu kami harus hidup bersama seperti biasanya.

Alasannya sangat sederhana, anak kami akan segera menyelesaikan pendidikannya dan liburannya adalah sebulan lagi dan ia tidak ingin anak kami melihat kehancuran rumah tangga kami. Ia menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya, “Hei Ning, apakah kamu masih ingat bagaimana aku memasuki rumah kita ketika pada hari pernikahan kita?”

Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa kenangan indah kepadaku. Aku mengangguk dan mengiyakan. “Kamu membopongku di lenganmu”, katanya, “Jadi aku punya sebuah permintaan yaitu kamu akan tetap membopongku pada waktu perceraian kita. Dari sekarang sampai akhir bulan ini, setiap pagi kamu harus membopongku keluar dari kamar tidur ke pintu.” Aku menerima dengan senyum. Aku tahu ia merindukan beberapa kenangan indah yang telah berlalu dan berharap perkawinannya diakhiri dengan suasana romantis. Aku memberitahu Dewi soal syarat-syarat perceraian dari istriku. Ia tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya. “Bagaimanapun trik yang ia lakukan, ia harus menghadapi hasil dari perceraian ini.”, ia mencemooh.

Kata-katanya membuatku merasa tidak enak. Istriku dan aku tidak mengadakan kontak badan lagi sejak kukatakan perceraian itu. Kami saling menganggap orang asing. Jadi ketika aku membopongnya di hari pertama, kami kelihatan salah tingkah. Anak kami menepuk punggung kami, “Wah, papa membopong mama, mesra sekali!” Kata-katanya membuatku merasa sakit. Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu ke pintu, aku berjalan 10 meter dengan ia dalam lenganku. Ia memejamkan mata dan berkata dengan lembut, “Mari kita mulai hari ini, jangan memberitahukan pada anak kita.” Aku mengangguk, merasa sedikit bimbang, aku melepaskan ia di pintu. Ia pergi menunggu bus dan aku pergi ke kantor.

Pada hari kedua, bagi kami terasa lebih mudah. Ia merebah di dadaku, kami begitu dekat sampai-sampai aku bisa mencium wangi di bajunya. Aku menyadari bahwa aku telah sangat lama tidak melihat dengan mesra wanita ini. Aku melihat bahwa ia tidak muda lagi. Beberapa kerut tampak di wajahnya. Pada hari ketiga, ia berbisik kepadaku “Kebun di luar sedang dibongkar. Hati-hati kalau kamu lewat sana.” Hari keempat, ketika aku membangunkannya, aku merasa kalau kami masih mesra seperti sepasang suami istri dan aku masih membopong kekasihku di lenganku.

Bayangan Dewi menjadi samar. Pada hari kelima dan keenam, ia masih mengingatkan aku beberapa hal, seperti di mana ia telah menyimpan baju-bajuku yang telah ia setrika, aku harus hati-hati saat memasak dan lain-lain. Aku mengangguk. Perasaan kedekatan terasa semakin erat. Aku tidak memberitahu Dewi tentang ini. Aku merasa begitu ringan membopongnya. Berharap setiap hari pergi ke kantor bisa membuatku semakin kuat. Aku berkata padanya, “Kelihatannya tidaklah sulit membopongmu sekarang…” Ia sedang mencoba pakaiannya, aku sedang menunggu untuk membopongnya keluar. Ia berusaha mencoba beberapa tapi tidak bisa menemukan yang cocok. Lalu ia melihat “Semua pakaianku kebesaran…”, Aku tersenyum.

Tapi tiba-tiba aku menyadarinya sebab ia semakin kurus itu sebabnya aku bisa membopongnya dengan ringan, bukan disebabkan aku semakin kuat. Aku tahu ia mengubur semua kesedihannya dalam hati. Sekali lagi aku merasakan perasaan sakit. Tanpa sadar kusentuh kepalanya. Anak kami masuk pada saat itu. “Pa, sudah waktunya membopong mama keluar…” Baginya, melihat papanya sedang membopong mamanya keluar menjadi bagian penting. Ia memberikan isyarat agar anak kami mendekatinya dan merangkulnya dengan erat. Aku membalikkan wajah sebab aku takut akan berubah pikiran pada detik terakhir. Aku menyangganya di lenganku, berjalan dari kamar tidur, melewati ruang duduk di teras. Tangannya memegangku secara lembut dan alami. Aku menyanggah badannya dengan kuat seperti kami kembali ke hari pernikahan kami. Tapi ia kelihatan agak pucat dan kurus, membuatku sedih.

Pada hari terakhir, ketika aku membopongnya di lenganku, aku melangkah dengan berat. Anak kami telah pergi ke sekolah. Ia berkata "Sesungguhnya aku berharap kamu akan membopongku sampai tua…" Aku memeluknya dengan kuat dan berkata “Antara kita saling tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra."

Aku melompat turun dari mobil. Aku takut keterlambatan akan membuat pikiranku berubah. Aku menaiki tangga. Dewi membuka pintu. Aku berkata demikian, “Maaf Dewi, aku tidak ingin bercerai. Aku serius!" Ia melihat kepadaku, kaget. Ia menyentuh dahiku "Kamu tidak demam, kan?". Kutepiskan tangannya dari dahiku. “Maaf Dewi, aku cuma bisa bilang maaf padamu, aku tidak ingin bercerai. Kehidupan rumah tanggaku membosanku disebabkan ia dan aku tidak bisa merasakan nilai-nilai dari kehidupan, bukan disebabkan tidak saling mencintai lagi”. “Sekarang aku mengerti sejak aku membopongnya masuk ke rumahku, ia telah melahirkan anakku. Aku akan menjaganya sampai tua. Jadi aku minta maaf padamu.” Dewi tiba-tiba tersadar. Ia memberikan tamparan keras kepadaku dan menutup pintu dengan kencang dan tangisannya meledak.

Aku menuruni tangga dan pergi ke kantor. Dalam perjalanan aku melewati sebuah toko bunga, kupesan sebuah buket bunga kesayangan istriku. Penjual bertanya apa yang mesti ia tulis dalam kartu ucapan? Aku tersenyum dan menulis “Aku akan membopongmu setiap pagi sampai kita tua…”

[English version]
Marriage.

In a relationship, married or not… You should read this.
Marriage.

"When I got home that night as my wife served dinner, I held her hand and said, I’ve got something to tell you. She sat down and ate quietly. Again I observed the hurt in her eyes.

Suddenly I didn’t know how to open my mouth. But I had to let her know what I was thinking. I want a divorce. I raised the topic calmly. She didn’t seem to be annoyed by my words, instead she asked me softly, why?

I avoided her question. This made her angry. She threw away the chopsticks and shouted at me, you are not a man! That night, we didn’t talk to each other. She was weeping. I knew she wanted to find out what had happened to our marriage. But I could hardly give her a satisfactory answer; she had lost, my heart to Jane. I didn’t love her anymore. I just pitied her!

With a deep sense of guilt, I drafted a divorce agreement which stated that she could own our house, our car, and 30% stake of my company. She glanced at it and then tore it into pieces. The woman who had spent ten years of her life with me had become a stranger. I felt sorry for her wasted time, resources and energy but I could not take back what I had said for I loved Jane so dearly. Finally she cried loudly in front of me, which was what I had expected to see. To me her cry was actually a kind of release. The idea of divorce which had obsessed me for several weeks seemed to be firmer and clearer now.

The next day, I came back home very late and found her writing something at the table. I didn’t have supper but went straight to sleep and fell asleep very fast because I was tired after an eventful day with Jane. When I woke up, she was still there at the table writing. I just did not care so I turned over and was asleep again.

In the morning she presented her divorce conditions: she didn’t want anything from me, but needed a month’s notice before the divorce. She requested that in that one month we both struggle to live as normal a life as possible. Her reasons were simple: our son had his exams in a month’s time and she didn’t want to disrupt him with our broken marriage.

This was agreeable to me. But she had something more, she asked me to recall how I had carried her into out bridal room on our wedding day. She requested that every day for the month’s duration I carry her out of our bedroom to the front door ever morning. I thought she was going crazy. Just to make our last days together bearable I accepted her odd request.

I told Jane about my wife’s divorce conditions. She laughed loudly and thought it was absurd. No matter what tricks she applies, she has to face the divorce, she said scornfully.

My wife and I hadn’t had any body contact since my divorce intention was explicitly expressed. So when I carried her out on the first day, we both appeared clumsy. Our son clapped behind us, daddy is holding mommy in his arms. His words brought me a sense of pain. From the bedroom to the sitting room, then to the door, I walked over ten meters with her in my arms. She closed her eyes and said softly; don’t tell our son about the divorce. I nodded, feeling somewhat upset. I put her down outside the door. She went to wait for the bus to work. I drove alone to the office.

On the second day, both of us acted much more easily. She leaned on my chest. I could smell the fragrance of her blouse. I realized that I hadn’t looked at this woman carefully for a long time. I realized she was not young any more. There were fine wrinkles on her face, her hair was graying! Our marriage had taken its toll on her. For a minute I wondered what I had done to her.

On the fourth day, when I lifted her up, I felt a sense of intimacy returning. This was the woman who had given ten years of her life to me. On the fifth and sixth day, I realized that our sense of intimacy was growing again. I didn’t tell Jane about this. It became easier to carry her as the month slipped by. Perhaps the everyday workout made me stronger.

She was choosing what to wear one morning. She tried on quite a few dresses but could not find a suitable one. Then she sighed, all my dresses have grown bigger. I suddenly realized that she had grown so thin, that was the reason why I could carry her more easily.

Suddenly it hit me… she had buried so much pain and bitterness in her heart. Subconsciously I reached out and touched her head.

Our son came in at the moment and said, Dad, it’s time to carry mom out. To him, seeing his father carrying his mother out had become an essential part of his life. My wife gestured to our son to come closer and hugged him tightly. I turned my face away because I was afraid I might change my mind at this last minute. I then held her in my arms, walking from the bedroom, through the sitting room, to the hallway. Her hand surrounded my neck softly and naturally. I held her body tightly; it was just like our wedding day.

But her much lighter weight made me sad. On the last day, when I held her in my arms I could hardly move a step. Our son had gone to school. I held her tightly and said, I hadn’t noticed that our life lacked intimacy. I drove to office…. jumped out of the car swiftly without locking the door. I was afraid any delay would make me change my mind…I walked upstairs. Jane opened the door and I said to her, Sorry, Jane, I do not want the divorce anymore.

She looked at me, astonished, and then touched my forehead. Do you have a fever? She said. I moved her hand off my head. Sorry, Jane, I said, I won’t divorce. My marriage life was boring probably because she and I didn’t value the details of our lives, not because we didn’t love each other anymore. Now I realize that since I carried her into my home on our wedding day I am supposed to hold her until death do us apart. Jane seemed to suddenly wake up. She gave me a loud slap and then slammed the door and burst into tears. I walked downstairs and drove away. At the floral shop on the way, I ordered a bouquet of flowers for my wife. The salesgirl asked me what to write on the card. I smiled and wrote, I’ll carry you out every morning until death do us apart.

That evening I arrived home, flowers in my hands, a smile on my face, I run up stairs, only to find my wife in the bed - dead. My wife had been fighting CANCER for months and I was so busy with Jane to even notice. She knew that she would die soon and she wanted to save me from the whatever negative reaction from our son, in case we push through with the divorce. — At least, in the eyes of our son —- I’m a loving husband….

The small details of your lives are what really matter in a relationship. It is not the mansion, the car, property, the money in the bank. These create an environment conducive for happiness but cannot give happiness in themselves. So find time to be your spouse’s friend and do those little things for each other that build intimacy. Do have a real happy marriage! Many of life’s failures are people who did not realize how close they were to success when they gave up."

Setiap Langkah adalah Anugerah

Oleh: Barbara Brown Taylor

Seorang profesor diundang untuk berbicara di sebuah basis militer pada tanggal 1 Desember. Di sana ia berjumpa dengan seorang prajurit yang tak mungkin dilupakannya, bernama Ralph.

Ralph yang dikirim untuk menjemput sang profesor di bandara.
Setelah saling memperkenalkan diri, mereka menuju ke tempat pengambilan kopor.

Ketika berjalan keluar, Ralph sering menghilang. Banyak hal yang dilakukannya. Ia membantu seorang wanita tua yang kopornya jatuh dan terbuka. Kemudian mengang kat dua anak kecil agar mereka dapat melihat sinterklas. Ia juga menolong orang yang tersesat dengan menunjukkan arah yang benar. Setiap kali, ia kembali ke sisi profesor itu dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
"Dari mana Anda belajar melakukan hal-hal seperti itu ?" tanya sang profesor. "Melakukan apa ?" kata Ralph.
"Dari mana Anda belajar untuk hidup seperti itu?"
"Oh," kata Ralph, "selama perang, saya kira."

Lalu ia menuturkan kisah perjalanan tugasnya di Vietnam. Juga tentang tugasnya saat membersihkan ladang ranjau, dan bagaimana ia harus menyaksikan satu per satu temannya tewas terkena ledakan ranjau di depan matanya.
"Saya belajar untuk hidup di antara pijakan setiap langkah,"katanya.
"Saya tak pernah tahu apakah langkah berikutnya merupakan pijakan yang terakhir, sehingga saya belajar untuk melakukan segala sesuatu yang sanggup saya lakukan tatkala mengangkat dan memijakkan kaki.Setiap langkah yang saya ayunkan merupakan sebuah dunia baru, dan saya kira sejak saat itulah saya menjalani kehidupan seperti ini."

Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana
kita menjalani kehidupan yang berkualitas.